Minggu, 30 September 2012

Untaian Aksara.......dari dan untuk Sahabat


Persahabatan adalah tentang rasa
Aku rasa, kamu rasa, saling merasakan
Sahabat kan kucurkan butiran air yang menjelma menjadi hujan
Menyiramkan kasih sayang pada jalinan insan pengikutnya
Sahabat bak gerimis yang ditumpahkan setetes demi
setetes dari langit
Pada bumi yang telah lama mendambanya
Dan kering pun...sedikit demi sedikit terkikis

Ku ucapkan syukur dan terima kasihku, wahai sahabat
Karena kau, kupahami makna kehidupan 
Kau beri kepercyaan dan kau hargai aku
Kau warnai hari dengan keindahan
Walau kadang satu noktah tercipta
Tapi, kasih persahabat kan menghapusnya
Persahabat takkan kering oleh sengatan mentari
Ia kan senantiasa beri terang pada semesta
Persahabatan adalah rona indah pelangi sesaat setelah hujan
Dengan variasi warna dan dipuja oleh jiwa
Yang dapat mengetahui maknanya
Ketulusan hati seorang sahabat
Takkan terusik bayu yang terbangkan payung pelindung diri
Persahabatan penuh sejuta rasa dalam segala suasana
Persahabatan akan selalu dengan warna
Berbeda, bukan hampa tak berasa
Tapi, merah, kuning, hijau, biru, dan kelabunya
Kan mengiringi dalam perjalanan waktunya

Jiwa persahabatan kan dekap dan peluk jiwa yang lain
Ia kan membelai hati, menjabat tangan
Saat sahabatnya menderu, menangis oleh badai prahara
Hapuskan haru biru dukanya dengan tutur manis
Hingga ia dapat rasakan senyum tulus
Penyegar hati yang menghias bibir
Hingga ia tetap percaya dan merasakan
Bersama selami telaga persahabatan yang menyejukkan
Mencoba sunggingkan kembali senyum yang hilang


Sahabat...takkan pernah rela bila sahabatnya tertusuk duri
Atau mungkin ia sendiri yang tak sengaja menggoreskannya
Kadang ia merelakan diri terluka.....dan mengeluh adalah wajar

Satu yang mungkin kita coba lakukkan, tetap mencintainya..



Sahabat bagaikan guyuran hujan yang selalu tulus 
Menyirankan pada kuncup hingga berbunga
Kasih sayang karena pengorbanan dalam jalinan ini
Adalah sesuatu yang membahagiakan
Jika tanpa dikotori harapan mendapat imbalan

Insan-insan persahabatan takkan terkoyak oleh jarak
Jiwa mereka tetap ada mengibarkan panji-panji sejatinya
Meski tak bisa selalu bersua
Tapi kerinduan menjadi bukti akan makna keberadaannya

Sahabat...tegurlah jika aku salah langkah
Jangan pernah sungkan atau ragu
Ingatkan akau saat kata hanya menjadi sia-sia belaka
Jadilah dirimu apa adanya
Tanpa harus turuti semua egoku
Karena benar atau salah
Hanya akal budillah yang mampu membedakannya
Sahabat..ingin ku lukis semua cerita indah tentang kita
Dalam bingkai kasih bersulam mutiara ketulusan
Ingin ku abadikan episode perjalanan ini
Dalam prasasti jingga di lembaran kisah hidupku


Sahabat....izinkan ku lafalkan sebait doa
Agar kita tetap depersatukan
Dalam pendar-pendar keping ukhuwah yang senantiasa terjaga
Sampai kita dpertemukan kembali pada suatu masa
yang paling kekal
Amin!

Rabu, 05 September 2012

Setetes Embun

  Hembusan angin pagi dan butiran embun menyelimuti suasana pagi. Ku duduk diam terpaku menatapi segerombolan ikan yang berebut  makanan yang kuberi.

“Kalian beruntung ya, bisa berkumpul dengan orang-orang yang kalian sayang. Coba liat anak kalian sudah tumbuh besar dan sebentar lagi akan memiliki sebuah keluarga.” Ucapku sendiri sambil menatap kosong kearah kolam.

          Seakan tak percaya dengan kejadian beberapa bulan saat aku kehilangan orang yang sangat aku kasihi hingga merengut kehidupannya dari tangan ku untuk selama-lamanya. Tiba-tiba dari arah belakang Ibu menghampiriku sambil membelai rambut dengan pelan. Desahan nafasnya yang ter engah-engah hingga tangisnya tak dapat dibendung.

“Sudahlah Dara, ikhlaskan saja Rico, kalau kamu terus seperti ini Rico juga sedih melihatmu dari sana. Apakah kamu tidak memikirkan ibumu yang sudah rentah ini sayang?” ujar ibu sambil meneteskan air mata.

Tentu saja tak kuhiraukan nasihat ibu, karena saat ini aku belum bisa melupakan orang kucinta yang begitu cepat meninggalkanku untuk selama-lamanya.  Begitu sakit rasanya seperti sebilah pisau yang menancap didada hingga setiap kali tangisku mengingat itu tak dapat dibendung. Berkali-kali kulihat layar handphoneku dan berharap Rico menghubungiku. Sesekali ku juga menengok kearah sebuah jam dinding yang tak jauh dari tempat dudukku dan berharap kedatangan Rico. Namun apa daya dia tak kunjung datang.
Hari demi hari aku hanya terdiam, bersikap dingin, dan tak pernah ku hiraukan apapun perkataan orang yang ada disekilingku. 
Seperti biasa Tari sahabatku sejak SMA selalu mengunjungiku.
“Ra, apa kabar, lo baik-baik aja kan. Ra gue sedih ngeliat lo kayak gini, mana Dara yang selalu ceria dan gak pernah sedingin ini. Ohya, Gue dateng kesini pengen ngasih tau lo, bsok malem ada acara reunian SMA kita. Bsok lo ikut ya, nanti gue jemput. ” Ujar tari.
Seperti biasa juga aku hanya diam dengan tatapan kosong dan membuang muka.
“Tante, besok aku mau mengajak Dara ke acara reunian SMA kita, siapa tahu saja dengan begitu membuat Dara sedikit terhibur.” Ujar Tari kepada Ibuku.
“Ia tari silakan saja, sungguh dengan keadaan Dara seperti membuat tante terpukul.” Ujar ibu sambil meneteskan air mata lagi yang tak kuasa menahan tangis melihat diriku seperti itu.
“Ia tante, Tari janji bakal ngebuat Dara kayak dulu lagi.” Ucap dara sambil mengahapus tangis Ibuku.
                                                                                     ***
         Keesokan harinya Tari datang menjemputku. Lalu kami berdua menuju kesebuah Restaurant. Saat akan turun dari taksi, aku menolak untuk masuk ke Restauran itu. Tapi Tari menarik tanganku dengan keras dan menatapku dengan dalam. Dan akhirnya aku dan Tari pun masuk ke Restauran itu.
          Di sebuah meja besar Restauran itu, sudah banyak teman-temanku sejak SMA berkumpul. Kami berdua pun akhirnya duduk. Tak jauh dari tempatku duduk, ku melihat sebuah Piano. Tanpa pikir panjang aku pun menghampiri alat musik tersebut. Dengan terampil ku memainkan not not Piano tersebut menampilkan sebuah lagu dengan aluanan lembut. Hingga ku berhenti sejenak, dan tak kuasa tetesan air mataku membasahi pip hingga bibirku menjadi gemetar dan juga tanganku menjadi dingin. Suasana yang tadinya begitu ramai berubah jadi hening, orang-orang yang ada direstauran itu pun terdiam melihatku. Kemudian seluruh pengunjung yang ada direstauran itu pun memberiku tepuk tangan hingga suasana malam itu menjadi haru.
          Tak lama aku pun kembali ke tempat dudukku dan Tari langsung memelukku sambil meneteskan air mata. Tiba-tiba sesosok lelaki yang wajahnya tak asing lagi bagiku datang menghampiriku dan menyodorkan tangannya. Kemudian ku tatap matanya dengan dalam dan wajahnya yang begitu tenang, bibirnya yang sumringah tersenyum kepadaku. 
“Selamat, permainan Piano lo keren.” Ujarnya. Dan aku pun menyambut tangannya, kemudian dia berlalu dengan cepat.

“Ra, lo inget dia kan. Itu Bayu, yang sering nyari masalah sama lo itu. Dia kuliah di Paris dan sekarang lagi liburan di Jakarta.” Ucap tari.

Mendengar itu aku masih terdiam dan seolah tak ingin lepas dari bayangan sosok lelaki itu. Lalu Tari pun mengajakku pulang karena hari sudah larut. Sesampai dirumah aku pun menuju kamar.

                                                                              ***
Keesokan paginya, kuberjalan disekitaran rumah. Tiba-tiba langkah kakiku terhenti. Sebuah suara memangilku dari arah belakang.
“Eh, curut.” Ucapnya mengarah pada ku.
      Serentak aku membalikkan badan, dan ekspresi wajahku berubah jengkel. Namun melihat ekspresiku seperti itu Bayu malah tertawa. Dan ku pun berlalu sambil melangkahkan kaki ku. Dari arah belakang Bayu mengikuti jejak langkah kakiku. Tiba disebuah Danau, kududuk pada sebuah kursi kayu. Lalu Bayu menghampiri dan duduk disebelahku. Sekali lagi dia menertawakanku.
“Eh curut kok lo cuek gini sih, sudah lama gue ngak berantem sama lo.” Ujarnya
 Dan aku hanya diam terpaku sambil menatapnya kosong.
“Ra, gue turut berduka cita atas kepergian Rico. Tari udah nyeritain semua yang terjadi sama lo.” Ucapnya dengan nada pelan.
Sesekali ku hela nafas yang tak beraturan, kemudian bibirku berubah menjadi gemetar lagi, kutekukan kaki yang tadi lurus hingga tangisku pecah. Dan Bayu berusaha menenangkanku sambil menyandarkan di tubuhnya sambil membelai rambutku dengan pelan. Kehangatan sikapnya membuat diriku sedikit tenang. Lalu ia pun mengantarkanku pulang kerumah. Sesampainya dirumah Bayu pamit untuk pulang dan sekalian minta izin untuk mengajakku jalan nanti sore. 

Saat sore hari tiba Bayu datang kerumah untuk menjemputku. Entah kemana Bayu membawaku pergi. Dan tibalah pada suatu tempat. Sebuah tempat yang sedikit asing bagiku. Banyak anak-anak yang asik bermain. Di tempat itu aku disambut seikat bunga yang diberikan kepadaku oleh sebuah anak kecil yang tak kukenal. Lalu mataku tertuju pada seorang bocah perempuan mungil tersebut.
“Gadis kecil itu bernama Mira.” Bisiknya dengan pelan.
         Lalu kami berdua pun masuk sebuah ruang pada tempat itu. Seorang wanita parubaya menghampiri kami dan mempersilakan kami duduk. Wanita tersebut tak lain pengurus malaikat-malaikat kecil yang berada di panti asuhan Kasih Bunda tersebut. Kemudian dia mengajak kami untuk melihat anak-anak yang tak berdosa tersebut. Sungguh ironis hingga menyentuh batinku. Kemudian Bayu menatapku sangat dalam dan menghapus air mata yang menetes dipipiku.
“Ra, coba kamu liat anak-anak itu. Mereka tak seberuntung kamu. Sejak mereka terlahir kedunia tak pernah merasakan kehangatan indahnya pelukkan dan kasih sayang dari orang yang mereka sayang. Liatlah mereka masih bisa tertawa ria meskipun mereka tahu mereka tak pernah diinginkan hadir didunia dan meskipun juga mereka tahu orang yang mereka sayang pergi untuk selama-lamanya. Tapi inilah hidup pada akhirnya akan berakhir. Kita yang masih diberi kesempatan seharusnya menjalankan dengan sebaik-baiknya. Inget Ra, hidup kamu masih panjang dan ngak berhenti Cuma sampai disini. Liat Ibu kamu!! Dan orang-orang yang udah peduli sama kamu jangan sampai kamu mengecewakannya.” Ucapnya pada diriku.

Lalu Bayu menarik tubuhku dan menyandarkan pada dirinya. Wajahnya yang tenang serta nafasnya yang hangat mampu menangkan diriku. Kemudian kami pun disambut sebuah nyanyian yang sangat menyayat hati oleh bocah-bocah mungil itu. Tak terasa hari sudah larut, dan Bayu pun mengantarku pulang. Dan diriku disambut oleh Ibu diteras rumah. Bayu pun berlalu dan serentakku membalikkan badan ke arah bayu.
“Bayu.” Ucapku
“ya.” Jawabnya
“Terima kasih.” Balasku
Bayu pun tersenyum dan berlalu menuju mobilnya. Sungguh senyuman itu seperti angin yang mampu menyejukkan batin hingga ku tak sempat berkata sepatah kata pun seakan tak ingin lepas dari bayangan wajah lelaki tampan itu. Dan Ibu pun langsung memelukku dengan hangat. Lalu bagaikan angin menyergap tubuhku teruntai halus hingga merangkai nyawa.




Bersambung....

Template by:
Free Blog Templates